iklan

Wednesday, July 13, 2011

Jenjang Karier dan Prestasi Kerja

Dalam halaman ini saya akan membahas dari sepengetahuan saya saja, dari yang saya lihat setiap saat. Bukan berdasar penelitian yang mendalam, ini hanya asumsi saya.
Saya memberi contoh jenjang karir itu dalam sebuah bus yang di awaki oleh sopir, kondektur dan kernet atau kenek. Seorang sopir saya ibaratkan dengan seorang direktur sebuah perusahaan, seorang kondektur saya ibaratkan sebagai bagian keuangan dalam suatu perusahaan, dan seorang kernet sebagai pembantu umum untuk keduanya, semuanya harus saling membantu dan saling mengontrol satu sama lainnya. Saya menemukan hal yang unik dari perjalanan saya setiap saya keluar kota dengan menggunakan bus.
Seseorang dalam sebuah bus mengawali karir dengan menjadi sebuah kernet, saya asumsikan kernet karena saya tahu bahwa kernet adalah seperti karyawan biasa yang hanya menerima upah kecil dan tugas yang tidak terlalu berat, tugasnya hanya membantu penumpang menaikkan barangnya, lalu mencari penumpang. Selain itu dia juga harus berani dalam mencarikan jalan apabila sang sopir ingin mendahului sebuah kendaraan, pasti anda tahu maksud saya (ini hanya untuk bus-bus yang kejar setoran dan ugal-ugalan) maka dari sini saya busa simpulkan bahwa kernet adalah jenjang karir awal dalam sebuah perusahaan atau posisi awal saat masuk kerja. Dia menjadi bawahan dari sopir dan kondektur dalam bekerja. Sedangkan kondektur, saya asumsikan sebagai bagian keuangan dalam sebuah perusaahaan, perusahaan yang baik dan sehat harus memiliki keuangan yang baik, baik dalam hal cash flow, investasi maupun pendanaan agar tetap bertahan dalam menjalankan operasional perusahaan, seorang kondektur di haruskan memiliki ketelitian dalam menghitung semua penumpang yang berdiri maupun yang duduk, menghitung tarif yang sesuai dengan jarak yang di tempuh oleh seorang penumpang. Kadang dia juga membantu kernet mencari penumpang jika keadaan sedang sepi penumpang. Layaknya bagian keuangan perusahaan dia juga menghitung seluruh biaya biaya yang ada, setoran kepada pemilik bus, biaya solar, biaya makan dan minum, biaya buat makelar penumpang di setiap halte bus (yang illegal maupun legal), retribusi atas masuk terminal-terminal d setiap kota, biaya tol, dan lain sebagainya. Dia hitung dengan seluruh pemasukan jika telah sesuai dengan target perusahaan maka dia laporkan kepada sopir bahwa setoran “aman”, tapi jika setoran yang harusnya di dapat belum memenuhi harapan atau bahkan minus dari yang di harapakan, sang kondektur mengisyaratkan untuk “tambah kecepatan” dalam mencari penumpang. Fenomena inilah yang kadang mengakibatkan sopir tidak fokus dan terburu-buru dan akibatnya banyak kecelakaan bus, tapi hal ini tidak akan saya bahas di bab ini. Dalam menjadi bagian keuangan dia di tuntut untuk menjadi seorang yang jujur, teliti, dan bisa berhemat dalam hal anggaran. Biasanya seseorang yang jadi kondektur dulunya adalah seorang kernet, hubungan inilah yang saya sebut sebagai jenjang karir dalam perusahaan. Seorang kernet atau bagian paling bawah jika berprestasi busa menjadi seoranng kondektur yang memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi. Keberaniannya saat menjadi kernet berguna untuk menghadapi penumpang yang tidak mau membayar sesuai tarif, berguna saat dia bernego tarif dengan penumpang itu, berguna juga untuk melawan oknum aparat yang menarik retribusi lebih tinggi dari wajarnya, dan untuk hal-hal lainnya. Jika dia bisa berprestasi dengan misalnya setoran selalu tercukupi dia bisa di promosikan sebagai seorang sopir, seorang sopir saya asumsikan sebagai seorang direktur dari sebuah perusahaan, dialah orang yang mengontrol, mengendalikan, mengambil semua keputusan dalam sebuah bus.
Sebuah bus yang besar sangat mirip dengan sebuah perusaahaan yang besar, kita bayangkan saja menyetir sepeda ontel dengan bus pasti rasanya berbeda,(mungkin saya terlalu ekstrem membandingkannya) berbeda dalam artian bahwa dalam sepeda ontel hanya keselamatan jiwa kita saja yang harus kita jaga atau kita perhatikan, tapi di dalam bus kita juga harus menjaga keselamatan banyak orang, para penumpang itu memiliki tujuan yang berbeda, kadang ada yang ingin bersilaturahmi dengan keluarga d kampung,ingin melakukan perjalanan dinas dengan berbisnis, ingin refreshing saja dan sebagainya. Jadi secara tidak langsung sang sopir bertanggung jawab kepada seluruh penumpang dan seluruh keluarga penumpang. Tanggung jawab yang besar inilah yang membuat tidak sembarang orang bisa menempatinya. Seorang sopir harus melalui jenjang karir yang dari bawah sebagai kernet lalu meningkat menjadi kondektur. Dari pengalaman menjadi kernet dan dia mendapatkan keberanian, keberanian yang akan dipakai dalam mengambil sebuah keputusan dengan semua loss and benefitnya, lalu dia bernajak menjadi seorang kondektur, dari tahap ini ketelitian sang “calon sopir” di uji untuk melihat data-data yang tersedia di sekitarnya. Agar dia bisa mencari2 jalan yang terbaik untuk mengantisipasi dan membuat rencana ke depan bagi perusahaannya. Tidak semua berhasil menjalani jenjang karir tersebut, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun hanya sebagai kernet saja,atau kadang sudah meningkat ke kondektur tapi seperti “kerasaan” dan tak beranjak dari posisi itu. Karena mungkin sudah bangga memegang uang banyak walaupun bukan uangnya sendiri.
Seorang sopir dibekali keterampilan mengemudi dari sopir terdahulu yang sudah mau pensiun atau akan berhenti, di sela-sela istirahat saat di garasi atau saat memarkir bus di terminal itulah saat belajar sang sopir yang awalnya hanya kernet menjadi kondektur itu. Hal ini bisa di ibaratkan seperti seorang direktur yang menularkan semua ilmunya dalam mengambil keputusan, mengembangkan visi dan misi sebuah perusahaan kepada wakil direkturnya atau kepada seseorang yang dia percaya untuk menggantikannya. Proses belajar mengemudi tidaklah instan dan bukanlah perkara mudah, butuh proses yang berkelanjutan sesuai dengan tingkatannya. Belajar mengemudinya pun harus di tes langsung oleh sopir aslinya, apakah sudah sesuai dengan tahapan-tahapan yang ditetapkan, atau standar-standar dalam mengemudi. Semua itu juga dilakukan agar dapat lancer melalui ujian Kepolisian dalam memperoleh Surat Ijin Mengemudi. Setelah bekal yang dirasa cukup, maka perlahan-lahan sang sopir lama mulai mundur dan mempercayakan semuanya pada sopir baru mantan kondektur tadi dengan tetap memantau keadaan dari jauh.
Semua proses yang ada itu bukan tanpa hasil gagal, kadang hasil gagal pun diterima, karena itu tekad untuk memilih bertahan atau maju itu yang penting, karena tidak semua sopirmu sukses, kadang ada pula yang menabrak atau melanggar lalu lintas hingga SIMnya dicabut dan tidak busa bekerja lagi. Semuanya ini saya sampaikan berdasarkan dari hasil pikiran saya sendiri, tanpa ada penelitian yang mendalam karena saya pernah bertemu seorang kernet yang akhirnya menjadi sopir bus atau dari karyawan biasa menjadi seorang direktur sebuah perusahaan.

If I Only Had Time

“Jangan Tuhaaaan jangan hukum aku… jangan ambil istriku… aku tak bisa hidup tanpa dia…. Ampuni aku Tuhaaaan.”

“Mas… mas… bangun, mimpi buruk ya ?”.

“Hah.. mimpi ???. Oh… syukurlah… Cuma mimpi”.

Kupandangi wajah disampingku yang sedang tersenyum, kucium dan kupeluk erat-erat takut Tuhan jadi melaksanakan niatNya dalam mimpiku tadi.

“Ayo… cepat bangun, sudah siang. Nanti terlambat ke kantor. Sarapan dulu baru mandi, semua sudah aku siapkan”. Lagi-lagi suara perempuan itu menyadarkanku bahwa ini nyata, bukan mimpi.

“Hati-hati di jalan ya, selamat bekerja. Jangan lupa dimakan bekalnya, makan siang jangan terlalu banyak makan lauk yang digoreng, kan lagi panas dalam, katanya penuh sayang.”

Pelan-pelan kujalankan roda kendaraan yang akan membawaku ke kantor, tempatku berkutat dengan kerja dan terkadang orang-orang yang menyebalkan. Tempatku mengharapkan bayaran setiap bulannya, tempatku memberikan pemikiran-pemikiran terbaikku bagi perusahaan.

Lamat-lamat kudengar syair lagu di radio “So much to do, if I only had time, if I only had time. Dreams to pursue, if I only had time, they’ be mine….. Since I met you I thought, Life really is too short… But loving you, so many things we could make true…. One whole century isn’t enough to satisfy me…….”

Tuhan, betulkah lagu itu masih berlaku bagiku? Sudah terlalu banyak waktu yang Engkau berikan untukku tapi hanya kubiarkan berlalu sia-sia…. If I only had time…. masih kah aku punya waktu untuk memperbaiki diriku? Tak terasa pelan air mataku bergulir di pipi. Kembali teringat kata-kata lagu tadi “But loving you, so many things we could make true….” Seolah mimpi tadi malam kembali kualami….

Seharian aku berkutat dengan pekerjaanku terkadang teringatpun tidak aku dengannya. Yang ada di benakku, pastinya dia sedang mengurus rumah. Itu saja. Entah dia sudah makan, entah dia sakit ya aku tidak terlalu peduli… Toh aku sudah memberinya cukup uang pikirku … Waktu merangkak begitu cepat, pagi berganti siang, dan siang disusul sore akhirnya malam sudah diambang pintu menggantikannya. Jam berputar seakan berkejaran.

Jam tanganku menunjukkan waktu pukul 20.00 dan m asih setumpuk pekerjaan yang harus selesai segera karena besok aku yang ditunjukkan untuk mewakili perusahaan dalam berpresentasi. .. Tiba-tiba ponselku berbunyi

“Hallo… ya… ada apa? Malam ini ? Dimana ?… Oke… oke aku datang, tunggu ya.” Si Badu memberitahuku bahwa ada kumpul-kumpul dengan beberapa teman di sebuah resto.

Akhirnya pukul 21.00 aku melesat meninggalkan kantor. Ah senangnya bertemu lagi dengan teman-teman lama. Ngobrol sana sini, tertawa terpingkal-pingkal waktu ada yang mengingatkan kejadian konyol yang kami lakukan dulu, hingga tak terasa jam tanganku menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Setelah berjanji akan bertemu lagi segera, dengan langkah gontai aku menuju tempat parkir, kupacu kendaraanku karena kantuk kian menyerang.

” Sudah pulang mas? Sudah makan? Minummu pasti sudah dingin, biar aku ganti yang hangat ya ?”

Dengan ter-huyung-huyung istriku keluar kamar dengan mata yang tidak bisa dipungkiri ngantuk berat….

Habis mandi, aku langsung masuk kamar untuk tidur.. Kulihat istriku dengan senyum berusaha menahan kantuknya menunggu aku selesai mandi.

“Mas capek ya? Banyak pekerjaan ya sampai pulang larut, sudah makan?”

“Hmm..”, jawabku pendek. Tanpa babibu aku langsung tidur karena tenagaku terkuras seharian ini. Aku m asih merasakan pijatannya, sampai aku terlelap tak ingat apa-apa lagi.

Keesokan harinya aku terkejut karena sudah jam 7 pagi sementara aku harus presentasi jam 08.00. Bagai kesetanan, kucari istriku. Dia kutemui di dapur sedang menyiapkan sarapan. “Sudah bangun mas?”

“Apa susahnya sih membangunkanku lebih pagi ? Tahu enggak pagi ini aku harus presentasi seharusnya kamu tahu dong tugasmu. (Padahal bukankah tadi malam aku langsung tertidur pulas tanpa sempat memberitahu rencanaku pagi ini?) Cepet siapkan bajuku !!!”

Untunglah aku tiba 30 menit sebelum waktu presentasi.

Dua jam berlalu, akhirnya aku keluar dari ruang presentasi dengan perasaan lega karena semua berjalan dengan baik. Tiba-tiba aku baru sadar perutku sudah berbunyi minta segera diisi karena belum sebutir pun nasi kutelan. Teringat bekal yang sudah dibungkus istriku karena melihatku tergopoh-gopoh. Ketika dia memberikannya padaku, bukan terima k asih yang diterimanya, tapi bentakanku yang membuatnya tersentak, “Kamu lagi, orang udah buru-buru begini malah ngerepotin aku pake disuruh bawa bekal segala. Makan aja sendiri !”

Rasa bersalah kian menghujam hatiku. Sambil berjalan menuju kantin, aku mengaktifkan kembali ponselku dan ada beberapa sms yang ternyata pesan dari istriku “Mas, hati-hati jangan ngebut ya. Tadi sekitar jam 05.30 saya sudah membangunkan mas karena menurut mas akhir-akhir ini macetnya makin parah tapi mas tetap tidak bangun.”

Lalu disusul sms berikutnya “Mas, jangan lupa sarapan ya. Minum teh manis hangat juga”.

Tawa dan kesenangan bisa kubagi dengan teman-teman diluar sana. Selalu ada waktu untuk mendengarkan curhat mereka. Tetapi buat dia, orang yang hanya menerima segala ketidakadilan itu dengan diam, aku tidak pernah ada waktu. Yang kubawa pulang hanya kekesalan, keletihan dan ketidaksabaran karena terkadang dia kuanggap terlalu bodoh.. Jadi buat apa aku membicarakan pekerjaanku, kejadian-kejadian di kantor, teman-temanku, toh dia tidak mengerti menurutku. Dan aku tidak membutuhkan sarannya untuk memutuskan apapun yang akan kulakukan, acaraku, dengan siapa aku ingin bertemu, atau bahkan penghamburan-penghamburan untuk membayar semua kesenangan dan kebanggaan.

“Tuhaaan… Pendamping yang sudah kau berikan, permata yang amat berharga, sudah kucampakkan ke dalam comberan bukan kujaga serta kurawat baik-baik. Sudah lupa daratankah aku?”

“Tuhaaan salahkah pendidikan yang telah kuterima sejak aku kecil hingga inilah caraku menghargai seorang istri? Jika anak perempuanku diperlakukan seperti ini oleh suaminya, pasti hancur hatiku “.

“Tuhaaaan, ampuni aku. Ternyata tanpa kusadari aku telah berlaku kejam terhadap istriku. Perempuan yang dulu membuatku mau melakukan apapun demi mendapatkannya, namun kini ku sia-siakan. Jangan ambil dia Tuhan, aku memerlukannya untuk mengajariku apa itu peduli, apa itu kerendahan hati, apa itu kepekaan, dan untuk menguatkanku menghadapi hari-hariku. Dia sudah begitu tabah mendampingiku selama ini, tapi apa yang diperolehnya ? Apakah dia bahagia hidup bersamaku?”

Tak pernah kutanyakan apa yang dia ingin aku lakukan untuknya. Aku hanya membutuhkannya untuk mengurus keperluanku, padahal apa yang kumiliki saat ini kuyakini karena dia. Namun ia ternyata hanyalah sesuatu yang ada dalam kehidupanku. Dia bukanlah seseorang yang menjadi prioritas hidupku. Perempuan lemah yang hanya bisa menjerit dalam hati dan menggigit bibirnya keras-keras agar tangisnya tak terdengar. Perempuan yang hanya menelan segala kepiluan dalam bisu. Padahal seharusnya aku selalu ada untuk melindunginya.

Apa yang harus kukatakan jika aku mati dan ENGKAU bertanya padaku Tuhan,” Apakah engkau suami yang baik? AKU akan mengambil istrimu kembali karena KU lihat engkau tidak memerlukannya lagi. Biarlah dia bahagia bersama KU di surga.”

So much to do, if I only had time… only time..

Istriku, maafkan aku sayang .. Aku suami tak tahu diri. Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku selama ini. Pandanganku kian kabur oleh air mata. Tiba-tiba ponselku berbunyi ada sms yang masuk… ternyata dari kakak iparku, isinya “Istrimu mengalami kecelakaan tadi waktu menyebrang di depan pasar. Dia ada di ICU RS …..”

Aku menjerit sekuat tenagaku ‘”Tuhaaaaaan ………..”

(Sweet memory of my beloved wife, kiriman Tatang Ali Husn

Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.

Walau sudah berulang kali saya baca, kisah ini tetap menyentuh hati. Terbayang jika saya yang menjadi Rima, pasti sakit luar biasa. Congratulation untuk pengarangnya, Its a great story.

***

Kehidupan pernikahan kami awalnya baik-baik saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.

Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.

Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal-hal seperti itu sebagai ungkapan sayang.

Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makanberdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.

Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak-anak kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama 8 tahun pernikahan kami.Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.

Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah
melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan-akan waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat-kalimatnya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki-laki maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.

Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. Lima bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.

Aku mulai mengingat-ingat 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.

Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,

” Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya ”, lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !

Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.

Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba-tiba, membawakan donat buat anak-anak, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan-jalan, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu-lucu.

Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.

Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian. Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya
keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, ” Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?”

Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,

Dear Meisha,Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak-anakku.

Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.

Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika c inta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon-pohonberingin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan-hutan belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.

Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki-laki yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.

yours,

Mario

Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.

Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia ersamaku. Dia mencintai perempuan lain.

Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.

Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa-sisa uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.

Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.

Mario terus menerus sakit-sakitan, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura-pura tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.

Setahun kemudian…

Meisha membuka amplop surat-surat itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.

”Mario, suamiku….Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..

Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.

Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, ”kenapa, Rima ? Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku?”

Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.

Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.

Istrimu,

Rima”

Di surat yang lain,

”………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……”

Disurat yang kesekian,

”…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku".

"Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah-marah padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya……..”

Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.

Disurat terakhir, pagi ini…

”…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran
dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.

Tahukah engkau suamiku,

Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”

Jelita menatap Meisha, dan bercerita,

” Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat
keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……” Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit
di hatinya, tapi dia sangat dewasa.

Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario
mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.

Dear Meisha,Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar….Inikah tanda2 aku mulai mencintainya ?

Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak-anakku, tapi karena dia belahan jiwaku….

Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario.

Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.

sumber: http://botefilia.com/index.php/archives/2009/01/07/perempuan-yang-dicintai-suamiku/
Salam.