iklan

Sunday, July 18, 2010

pelajaran dari AFSEL

PRESTASI Indonesia di kancah sepak bola internasional jeblok. Namun itu tak menyurutkan semangat PSSI mengangkat derajat sepak bola di Tanah Air.

Pada 21 Januari 2010, Indonesia resmi mengajukan proposal ke FIFA sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Indonesia harus bersaing dengan Inggris, Jepang, Qatar, Rusia, Portugal, Spanyol, Australia, Belgia-Belanda-Luxemburg, Kanada, China, Meksiko dan Amerika Serikat.

Indonesia sudah memenuhi salah satu syarat FIFA, yakni memiliki stadion berkapasitas lebih dari 80.000 penonton untuk pertandingan pembuka dan final.

Stadion Utama Gelora Bung Karno mampu menampung 88.000 suporter dan memiliki pengalaman pergelaran turnamen internasional, salah satunya final Piala Asia 2007. Tampil di Piala Dunia menjadi mimpi PSSI. Selama ini Indonesia selalu tersingkir di babak awal kualifikasi.

Tapi ingat, pengalaman buruk menjadi tuan rumah perhelatan akbar pernah dirasakan bangsa ini. Di Piala Asia 2007, pasukan Merah Putih mendapat kesempatan tampil di negeri sendiri dan tersingkir di penyisihan grup.

Dan menyedihkan lagi, ada masalah teknis yang cukup memalukan bagi tuan rumah. Pada 11 Juli 2007 malam, kala pertandingan Arab Saudi versus Korea Selatan berlangsung, lampu Stadion Gelora Bung Karno padam. Pertandingan pun dihentikan beberapa menit.

Namun keberanian PSSI mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 tetap perlu diacungi jempol. Masih ada waktu 12 tahun lagi untuk mempersiapkan diri, baik infrastruktur maupun tim tangguh.

Memiliki tim tangguh yang disegani negara lain tentu menjadi mimpi setiap orang di negeri ini. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono blak-blakan mengungkapkan mimpi itu. Dia pun berkeinginan mendatangkan pelatih kelas dunia.

Nama Fatih Terim, pelatih yang berhasil membawa Turki menembus semi final Piala Eropa 2008 menjadi pilihan. Bahkan pembicaraan secara informal sudah dilakukan. Indonesia siap menggaji besar jika nominasi pelatih terbaik Eropa itu mau menangani pasukan Merah Putih.

Indonesia memiliki catatan panjang menyewa jasa pelatih asing. Ternyata, tidak serta merta pelatih asing mampu mengangkat prestasi Indonesia. Prestasi justru dihadirkan oleh pelatih lokal.

Emas pertama sepak bola pada SEA Games 1987 yang dipersembahkan mendiang Bertje Matulapelwa. Bandingkan kala Timnas Indonesia ditangani pelatih asal Inggris sekaliber Peter White.

Kalau kita mau memetik pelajaran dari penyelenggaraan Piala Dunia 2010 Afsel, justru pelatih dari negara sendiri yang berjaya. Sebut saja Vicente del Bosque yang sukses menukangi Spanyol menjadi juara dunia.

Kemudian Bert van Marwijk membawa Belanda sebagai runner up dan Joachim Loew tercatat sebagai pelatih yang menempatkan negaranya, Jerman di posisi ketiga.

Jepang dan Korea Utara yang mampu menembus babak 16 besar pun menggunakan jasa pelatih negeri sendiri. Sedang negara kiblat sepak bola dunia, Inggris yang menyewa pria asal Italia, Fabio Capello justru terpuruk.

Apakah negeri ini kekurangan pelatih hebat? Jawabnya tidak. Pilih saja di antara mereka yang menukangi klub-klub Liga Super Indonesia.

Akan tetapi kini, faktanya, Timnas Indonesia dibesut Alfred Riedl. Pelatih asal Austria itu sibuk menyeleksi pemain. Dia sukses menangani Laos dan Vietnam. Tanpa mengecilkan seorang Riedl, belum tentu dia berhasil menukangi Timnas Indonesia.

Pelajaran lain yang bisa dipetik dari Afsel adalah kampanye fair play dan antirasis. Tensi pertandingan yang tinggi tak membuat para aktor di lapangan berkelahi. Mereka benar-benar beradu teknik.

Bandingan dengan kompetisi kita yang selalu diwarnai perkelahian, kerusuhan di lapangan. Pekerjaan membuat pemain dan penonton dewasa tidaklah mudah. Tapi selayaknya, mental inilah yang harus terus dibina.

Kita berharap, semangat Afsel, inspirasi Spanyol, mampu mengangkat prestasi sepak bola Indonesia.(*)
red: DhenySumber: cetak banjarmasinpost

No comments:

Post a Comment