iklan

Sunday, July 18, 2010

Setelah Lampu-lampu Dipadamkan

Wednesday, July 14, 2010 at 6:15pm
Olympiastadion Muenchen, Jerman Barat, 7 Juli 1974.

Lampu-lampu stadion sudah dipadamkan. Orang-orang beranjak pulang. Kini yang tersisah adalah keheningan, juga kenangan. Di partai final, Belanda kalah 1-2 dari Jerman Barat. Kekalahan yang sangat menyakitkan, mengingat Belanda unggul lebih dulu lewat gol Johan Nesskens.

Lalu, Johann Cruyff menukil Injil: Jika Tuhan tidak mengizinkan saya memperoleh Juara Dunia di Muenchen, mungkin satu saat kami akan memperolehnya di tempat lain. Jika Dia menginginkan, maka terjadilah itu.

Tak ada yang salah dalam kalimat itu, tentu saja. Cruyff bukan seorang pastor, bukan pula seorang penginjil. Dia adalah seorang petarung serta seniman sepak bola, di mana kata loyalitas dan totalitas melekat erat dalam dirinya. Dia pemain terbaik Eropa tiga kali, 1971, 1973, dan 1974. Jelang laga di Olympiastdion dihelat, jutaan rakyat Belanda menitipkan asa di kaki dan kepala Cruyff. Tapi apa boleh buat, panggang masih jauh dari api. Maka, tatkala Belanda digebuk Jerman Barat, Cruyff tak banyak bicara. Dia memilih diam kemudian menukil Injil.

Empat tahun berselang, tepatnya 25 Juni 1978, Belanda kembali gagal. Kali ini, De Oranje menyerah 1-3 dari tuan rumah Argentina. Zonder Cruyff, pemain Belanda meninggalkan Stadion Rival Plate, Buenos Aires, dengan masygul.

Dua final, dua kekalahan, dua erangan, dua tangisan. Belanda hamil tua. Penantian panjang, kapankah berakhir?

Waktu terus bergerak, merangsek ke depan: Stadion Soccer City, Johannesburg, Afrika Selatan, 11 Juli 2010.

Bert van Marwijk, dengan syal melilit di leher, memimpin pasukannya masuk ke stadion dengan semangat pepatah lawas, bloeden als een rund. Ya! Arjen Robben cs siap bertarung laiknya segerombolan sapi jantan, bahkan kalau perlu, sampai berdarah-darah.

Peluit dibunyikan. Laga dua raksasa sepak bola Eropa yang sama-sama memendam hasrat itu pun berlangsung panjang, juga berliku-liku. Saling serang, jual beli ancaman. Belanda, dengan bayang-bayang kegagalan 1974 dan 1978, memburu mimpi baru. Tak kenal lelah, maju pantang mundur. Spanyol tak kalah garang. Mengikuti gerakan tangan pelatih Vicente Del Bosque dari tepi lapangan, Juara Eropa 2008 tersebut tampil luar biasa bak torero. Benarlah kata Franz Kafka, novelis Jerman: Setiap detik hidup adalah final.

Disaat Robben cs bertarung, dari detik ke detik, dari menit ke menit, rakyat Belanda pun mengingat Cruyff. "Jika Dia menginginkan, maka terjadilah itu". Yang terjadi justru sebaliknya, Belanda kalah di ujung laga. Andres Iniesta kembali mengubur mimpi Belanda lewat tendangan kaki kanan yang tak mampu diantisipasi kiper Maarten Stekelenburg. Ke manakah Tuhan? Adakah Dia memalingkan wajah-Nya dari anak-anak Belanda itu? Kalau tidak, kenapa gol tak jua tercipta, bahkan ketika Robben berhadapan satu lawan satu dengan Iker Casillas, kiper Spanyol? Atau, kenapa Tuhan membiarkan jutaan orang berpihak kepada Paul gurita, jauh sebelum laga dihelat?

Biarlah segepok pertanyaan dilemparkan, biarlah air mata terus mengalir. Kekalahan memang menyakitkan, meski beberapa tahun lalu mantan mentor timnas Belanda Louis Van Gaal pernah mengutip novelis cemerlang Rusia Boris Leonidovich Pasternak: Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang tak dapat dibandingkan. Van Gaal mengacu kepada Piala Dunia 1974. Kata Van Gaal, Belanda patut bangga lantaran dunia memuji totaalvoetball-nya, meski akhirnya menyerah di tangan Jerman Barat.

Belanda memang kalah, dan mereka tak akan meratapinya berlama-lama. Sepak bola tak melulu soal taktik pun teknik, tapi juga sesuatu yang transendental, sesuatu yang di luar nalar. Tatkala ini tersuguhkan secara ekstrem, kita kontan geleng-geleng kepala tak percaya. Kita tak habis pikir dengan Prancis, Inggris, Italia, dan Brasil. Prancis dan Italia terkapar di babak penyisihan. Inggris yang tampil perkasa di babak kualifikasi tak bisa berbuat banyak dan hanya puas sampai babak 16 besar. Brasil tak jauh beda. Digadang-gadang bakal juara, Selecao tumbang dihajar Belanda 2-1 di babak delapan besar.

Stadion Soccer City, Johannesburg, Afrika Selatan, 11 Juli 2010.

Lampu-lampu stadion sudah dipadamkan. Orang-orang beranjak pulang. Kini yang tersisah adalah keheningan, juga kenangan.

No comments:

Post a Comment