iklan

Sunday, July 18, 2010

Surat untuk Presiden Yudhoyono

Surat untuk Presiden Yudhoyono
Sunday, July 11, 2010 at 12:44pm


Belanda masih bertahan, Brasil harus pergi, dan Ghana, yang menjadi satu-satu harapan Afrika, telah pulang meninggalkan rumahnya sendiri.

Yang terhormat Bapak Presiden ...

Saya tulis surat ini bukan untuk mengupas kehebatan Wesley Sneijder yang menjadi pahlawan Belanda, bukan Julio Cesar yang meratapi kegagalan Brasil, dan bukan pula mengungkapkan kesedihan Asamoah Gyan yang gagal merobek gawang Uruguay dalam satu kesempatan penalti. Tapi surat ini untuk menjawab kegelisahan masyarakat sepak bola Indonesia, sekaligus menjawab pertanyaan Presiden, karena sepak bola bukan lagi sekadar menang-kalah.

Di Afrika, ketika Piala Dunia 2010 memasuki babak semifinal, sepak bola kini tidak hanya tersimpan di hati Maradona, tapi sudah menjadi milik siapa pun dan bisa melibatkan siapa pun, termasuk kepala negara. Ini terbukti setelah Nigeria, Prancis, dan Inggris harus pulang lebih cepat dari Afrika.

Bapak Presiden ...

Presiden Nigeria Goodluck Ebele Jonathan tak mampu memendam kekecewaan dan seketika membekukan aktivitas tim nasional Nigeria: untuk sementara tak terlibat dalam sepak bola internasional selama dua tahun, meski sikap ini memuncalkan pertentangan di markas FIFA. Masyarakat Prancis sangat marah dan meminta Jean Pierre Esacalettes, Presiden Federasi Sepak Bola Prancis (FFF), segera meninggalkan kursinya. Atau pers Inggris yang mencemooh pasukan The Three Lions dan berharap Fabio Capello--sang arsitek berdarah Italia yang pernah membawa AC Milan ke Indonesia pada 1995--segera hengkang dari London.

Sangat beralasan jika ada keinginan Indonesia bisa tampil di Piala Dunia. Saya pun membayangkan kelak mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berada di bangku VIP bersama para kepala negara lain, seperti Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyaksikan partai Amerika melawan Ghana di Stadion Royal Bafokeng, Minggu, 27 Juni, lalu. Dan, saya ingin menjawab obsesi itu ketika Bapak SBY bertanya kapan kira-kira PSSI (tim nasional) masuk Piala Dunia dalam kesempatan nonton bareng partai pembuka antara Afrika Selatan dan Meksiko di Ballroom Puri Kencana Hotel Intercontinental, Bali, 11 Juni lalu.

Bapak Presiden ...

Tentu saja kita tak memulai dari siapa yang memimpin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia untuk mewujudkan keinginan itu. Jika ada pertanyaan siapa yang pantas memimpin organisasi sepak bola nasional kita, yang pasti dia harus kompeten. Boleh saja dia berbaju biru, asal bukan mantan narapidana. Dia harus cerdas dan mampu menjadi manajer yang baik. Tapi kecerdasan dan kebaikan itu tak lantas dia leluasa menjadikan PSSI sebagai sarang mafia dan tidak membentuk para pengurusnya berperilaku bak preman.

Sesungguhnya sepak bola Indonesia membutuhkan perubahan. Ini merupakan dasar argumentasi untuk menjawab rasa keprihatinan, yang sebenarnya merupakan gambaran umum kekecewaan masyarakat setelah melihat karut marut pengelolaan sepak bola Indonesia dan prestasi tim nasional yang semakin tak menentu. Saya senang ketika Bapak merespons kekecewaan itu dengan menggagas Kongres Sepak Bola Nasional, akhir Maret lalu, meski pada akhirnya "Rekomendasi Malang" tak akan pernah dipatuhi.

Bapak Presiden ...

Ada beberapa masalah yang mejadi inti dari karut marut pengelolaan sepak bola di Indonesia. Yang utama adalah kegagalan mengelola kompetisi secara profesional dan berorientasi pada pembinaan, prestasi, dan keuntungan.

Pengelolaan kompetisi sepak bola Indonesia kurang maksimal karena tidak digarap secara profesional. Kondisi ini disebabkan masih kuatnya campur tangan birokrasi dalam pengelolaan klub dan masih banyak klub bergantung pada dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sehingga klub-klub tersebut tidak mempunyai orientasi bisnis (profit oriented) yang jelas.

Padahal, seharusnya, dari segi pengelolaan dan bisnis, kompetisi sepak bola di Indonesia sudah setara, bahkan berada di atas kompetisi J-League Jepang dan A-League Australia karena Indonesia mempunyai potensi bisnis yang jauh lebih besar dibanding dengan dua negara tersebut. Potensi itu bisa dilihat pada kenyataan bahwa sepak bola adalah olahraga paling digemari di Indonesia, jumlah penonton yang datang langsung ke stadion rata-rata sekitar 11.158 orang tiap pertandingan (per April 2010), dan rating siaran langsung Liga Super di televisi juga tinggi dibanding tontonan lain.

Kegagalan pengeloaan kompetisi juga bisa dilihat pada banyak kerusuhan yang melibatkan pemain, ofisial, dan penonton di sepak bola Indonesia, indikasi pengaturan skor, sering terganggunya jadwal kompetisi, sengketa pemain dan klub soal kontrak. Secara umum disimpulkan bahwa kompetisi sepak bola Indonesia, meski punya potensi bisnis yang luar biasa, masih jauh dari profesional.

Untuk mengurai benang kusut persepakbolaan nasional sangat dibutuhkan solusi yang cerdas. Percepatan pembentukan kompetisi profesional melalui penghentian dana anggaran pendapatan dan belanja daerah dan memaksimalkan sumber-sumber kompetisi agar kompetisi mempunyai nilai bisnis tinggi sekaligus berorientasi pada pembinaan dan prestasi bisa menjadi jalan ke arah perbaikan itu. Solusi lain adalah peningkatan pembinaan pemain usia dini dan muda secara serius, terintegrasi, serta berkesinambungan. Dan yang lebih penting adalah perombakan pengurus dalam organisasi PSSI agar manajemen dan pengelolaan sepak bola di Indonesia dijalankan dengan benar, jujur, dan efektif.

Bapak Presiden ...

Saya dan teman-teman yang sangat menginginkan perubahan itu telah membuat kajian organisasi, prestasi, pembinaan, dan kompetisi sepak bola Indonesia (jika ada kesempatan nonton bareng di Cikeas, kami akan menyerahkan kajian ini kepada Bapak). Selain itu, kami telah membuat tahapan-tahapan yang harus kita tempuh, termasuk menyarankan Bapak mengundang Sepp Blatter, Presiden FIFA, ke Indonesia atau mengutus Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng menemui orang yang paling berpengaruh dalam sepak bola dunia, termasuk mengubah wajah sepak bola kita.


Yon Moeis
(versi edit dan penambahan materi, tulisan ini dimuat di Koran Tempo, Minggu, 4 Juli 2010)

No comments:

Post a Comment